Jumat, 11 Februari 2011
PECANDU TIDAK HARUS DI PENJARA (BUKAN KRIMINAL)
Apakah penjara mampu menawarkan solusi? yang lebih efektif dan kreatif? Tujuan dari pemenjaraan adalah isolasi, mengurangi kontak antara orang yang dipenjara dan masyarakat umum karena tindakan mereka dianggap merugikan masyarakat. Tindakan para pencandu memang merugikan masyarakat, karena untuk memenuhi ketagihannya dia akan mencuri, menipu, dan mungkin melukai orang lain. Kebanyakan mereka seperti itu karena tidak memperoleh perawatan dan rehabilitasi. Seperti yang mereka alami adalah kriminalisasi, pemenjaraan, dan stigmatisasi masyarakat.Semua perlakuan itu tidak memprioritaskan kecanduannya, tetapi tindakan kriminalnya, yang sebenarnya dapat diatasi jika yang bersangkutan mendapat bantuan profesional segera.Hasilnya, penanganan terhadap pencandu tidak ada kemajuan (kreativitas) , kita membebani negara dan masyarakat sama seperti bertahun-tahun sebelumnya dan tidak belajar dari bukti-bukti baru. Memang kini telah dibentuk lapas narkoba, tetapi sejauh mana fasilitas ini mempunyai program perawatan dan rehabilitasi efektif, masih patut dipertanyakan Kita tahu, musuh masyarakat bukan pencandu, tetapi produsen dan pengedar. Statistik Dephuk dan HAM (2006) menunjukkan, jumlah mereka di penjara jauh lebih sedikit dibandingkan dengan pencandu (73 persen pengguna, 25 persen pengedar, 2 persen produsen). Hukuman mereka juga lebih ringan dibandingkan dengan pencandu. Pemenjaraan pencandu menyebabkan penjara penuh dan overcrowded, terjadinya kekerasan dan eksploitasi, penularan penyakit (termasuk HIV/AIDS), dan pengembangan jaringan baru yang melibatkan pencandu dalam kejahatan narkoba terorganisasi. Jika kita memahami persoalannya seperti ini, mengapa kita terus melakukan kesalahan yang sama Justru merugikan negara. Mungkin banyak pihak tidak peduli dengan berkurangnya produktivitas SDM yang dipenjara atau negara yang harus membiayai fasilitas dan keputusan seperti itu. Jika dipikirkan matang-matang, seorang pencandu—yang dalam banyak kasus kehilangan tujuan hidup—dapat ditangani secara lebih kreatif dan bermanfaat Penjara seolah menjanjikan adanya detoksifikasi dengan model kalkun dingin (cold turkey), yaitu tanpa bantuan zat/obat. Namun, dengan maraknya peredaran narkoba di penjara, detoksifikasi pun tidak mungkin. Tindakan selanjutnya, yaitu perawatan dan rehabilitasi, jelas tidak dapat terpenuhi di dalam penjara karena programnya tidak dirancang khusus untuk itu. Akibatnya, banyak pencandu yang sakit, ketularan penyakit (termasuk HIV/AIDS), dan meninggal. Karena tingginya penularan HIV di penjara, negara bahkan terpaksa membuat program baru, seperti rumatan metadon dan program pengurangan dampak buruk (harm reduction) lainnya. Artinya, semua biaya yang dikeluarkan negara tidak berhasil membangun kembali SDM yang bermasalah menjadi berguna, tetapi justru membuatnya tidak berguna sama sekali atau menghilangkannya. Beginikah kebijakan publik dikembangkan? jika dimasukkan dalam program rehabilitasi medik, lalu sosial. Mereka perlu mencari makna hidup dengan membantu orang lain melalui bakat-bakat dan kemampuan mereka. Banyak anak akan diuntungkan jika diwajibkan (dengan pengawasan) untuk mengajar di sekolah-sekolah miskin atau membantu melalui kerja fisik dan otak bagi anggota masyarakat di luar Jakarta yang membutuhkan talenta mereka. Memenjarakan orang seperti mereka, apalagi dengan ancaman hukuman yang lebih panjang, justru merugikan negara dan masyarakat. Mengelola sumber daya di dalam negara yang miskin—walau katanya kaya—seperti Indonesia, kita harus pandai-pandai berhemat. Ini bukan hanya soal finansial, melainkan justru soal memaksimalkan modal sosial yang ada. Jangan sampai bakat- bakat para pencandu habis dipenjara sekaligus bersama tubuh dan jiwa mereka. Investasikan sumber daya yang sangat langka di negara ini untuk memerangi narkotikanya, mencegah dampak buruknya, dan mendidik masyarakat. Pencandu bukan musuh masyarakat. Mereka butuh obat dan perawatan, bukan pemenjaraan.
WHO (2002) mengakui adiksi sebagai sebuah penyakit kronis yang sering kambuh (chronically relapsing disease). Untuk itu, perawatan dan rehabilitasi jangka panjang (lebih dari enam bulan) dibutuhkan. Bukti-bukti empirik menunjukkan, perawatan dan rehabilitasi saja tidak cukup, dibutuhkan program purnarawat yang jangka waktunya bisa lebih dari enam bulan. Semua ini berarti, ”penyembuhan” terhadap individu yang mengalami permasalahan adiksi narkoba bukan proses sederhana. Para ahli sepakat, pencandu narkoba mempunyai masalah medis, psikologis, dan sosial yang serius
Adob Mer
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar